Jumat, 01 Juni 2012

TELAAH KRITIS RUU KEADILAN DAN KESETARAAN GENDER
(Manifestasi keadilan tuhan dalam pesan profetik kitab suci telah digugat)
OLEH
MUHAMMAD SOLIHIN S, S.H
(Ket.Bidang Hikmah DPD IMM SULSEL)


Dalam Naskah Akademik tentang Kesetaraan Gender (NA RUU KKG) disebutkan bahwa RUU KKG perlu disusun karena adanya ketimpangan yang terjadi dalam masyarakat Indonesia dalam memperoleh manfaat yang sama dan adil dari hasil-hasil pembangunan antara laki-laki dan perempuan. Ketimpagan itu disebabkan kuatnya budaya patriarki sehingga terjadi subordinasi, ketidakberdayaan perempuan dan anak dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.[1]

Alasan klasik  munculnya RUU KKG yang sering didengungkan oleh kaum feminis adalah bahwa wanita sering mengalami diskriminasi dalam berbagai aspek kehidupan. Aspek pemenuhan hak politik, hak ekonomi, hak sosial ataupun  yang lain wanita selalu dipinggirkan.
Dilihat dari latar belakang sejarah, konsep kesetaraan gender lahir dari  pemberontakan perempuan Barat akibat penindasan yang mereka alami selama berabad-abad. Sejak zaman Yunani, Romawi, dan Abad Pertengahan (the Middle Ages), dan bahkan pada Abad Pencerahan sekali pun,  Barat menganggap wanita sebagai makhluk inferior, manusia yang cacat, dan sumber dari segala kejahatan atau dosa. Hal tersebut melahirkan gerakan  perempuan Barat yang menuntut hak dan kesetaraan perempuan dalam bidang ekonomi dan politik  yang  pada akhirnya dikenal dengan sebutan feminis.
Alasan yuridis lahirnya RUU KKG adalah karena Indonesia telah meratifikasi CEDAW (Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination Against Women atau Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita) dan disahkan menjadi UU No. 7/ 1984. Konvensi ini memberikan dasar untuk mewujudkan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki dengan memastikan akses yang sama untuk perempuan, dan kesempatan yang sama dalam, kehidupan politik dan publik - termasuk hak untuk memilih dan mencalonkan diri - serta pendidikan, kesehatan dan pekerjaan. Negara-negara Pihak setuju untuk mengambil semua langkah yang tepat, termasuk legislasi dan tindakan khusus sementara, sehingga perempuan dapat menikmati semua hak asasi manusia dan kebebasan dasar. Negara-negara yang telah meratifikasi atau mengaksesi Konvensi secara hukum terikat untuk menempatkan ketentuannya dalam praktek. Dengan menerima Konvensi, Negara berkomitmen untuk melakukan serangkaian tindakan untuk mengakhiri diskriminasi terhadap perempuan dalam segala bentuknya, termasuk:
  • untuk memasukkan prinsip kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam sistem hukum mereka, menghapuskan semua hukum diskriminatif dan mengadopsi sesuai yang melarang diskriminasi terhadap perempuan;
  • untuk membentuk pengadilan dan lembaga publik lainnya untuk menjamin perlindungan yang efektif dari perempuan dari diskriminasi, dan
  • untuk memastikan penghapusan segala tindakan diskriminasi terhadap perempuan oleh orang, organisasi atau perusahaan.
Mereka juga berkomitmen untuk menyampaikan laporan nasional, setidaknya setiap empat tahun, pada langkah-langkah yang telah mereka lakukan untuk memenuhi kewajiban perjanjian mereka.
Sesi ke -39 Sidang Komite CEDAW PBB pada tanggal 23 Juli- 10 Agustus 2007, meminta pemerintah menuangkan konvensi itu dalam hukum nasional. Sehingga disusunlah RUU KKG itu dengan rujukan dokumen CEDAW, Beijing Platform For Action (BPFA) dan Millenium Developtments Goals (MDGs). Upaya peningkatan kapasitas perempuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara juga menjadi pendorong akan segera diundangkannya Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Kesetaraan dan Keadilan Gender. RUU ini dimaksudkan untuk mengoptimalkan pengarusutamaan gender (PUG) di segala sektor pembangunan mulai dari pusat hingga daerah. Selama ini kebijakan PUG di Indonesia diatur dalam Inpres Nomor 9 Tahun 2000.
Arah RUU KKG dan perjuangan feminisme secara umum adalah untuk menjadikan keluarnya wanita dari ranah domestik yang dianggap sebagai ranah rentan penyiksaan- ke ranah publik. Mereka menganggap dengan keluarnya mereka dari peran utama mereka yang  sesungguhnya (peran istri sekaligus ibu) dan berlomba-lomba mengejar karir setinggi-tingginya merupakan pandangan yang akan mengangkat derajat wanita. Sebagai konsekuensinya mereka akan meninggalkan tugas utama mereka sebagai sebagai seorang istri maupun ibu yaitu pencetak generasi unggul. Sehingga kita tahu bahwa ketika RUU KKG telah di”goal”kan tanpa adanya pengawalan yang jelas tentang interpretasi kesetaraan gender, maka kehancuaran tidak hanya terjadi pada tatanan keluarga saja, tetapi rusaknya generasi yang merupakan kerusakan yang sangat global.[2]
Keadilan Tuhan seperti yang termaktub dalam lembaran-lembaran kitab suci seolah-olah dianggap tidak lagi setara untuk laki-laki dan perempuan, alias bias gender! Apalagi Bab VIII, pasal 67 RUU KKG secara tegas menyebutkan:“Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang memiliki unsur pembedaan, pembatasan, dan/atau pengucilan atas dasar jenis kelamin tertentu”.
Karena Tuhan tidak termasuk dalam kategori “setiap orang”, maka sebagai gantinya adalah semua orang yang mengikuti ajaran Tuhan. Maka siapa saja yang masih saja melaksanakan Ketentuan Tuhan dalam masalah waris, aqiqah, kesaksian, melarang perempuan menjadi khatib jumat, wali nikah, imam shalat bagi makmum laki-laki, dan melarang nikah beda agama maupun sesama jenis berarti telah melanggar Bab VIII, pasal 67 dan Bab III pasal 12, khususnya huruf a dan e yang menyatakan: “Dalam perkawinan, setiap orang berhak: (a) memasuki jenjang perkawinan dan memilih suami atau isteri secara bebas. (e) atas perwalian, pemeliharaan, pengawasan, dan pengangkatan anak”.
Apa yang menjadi Kehendak Tuhan secara umum dinilai telah melenceng dari dasar filosofi, karakteristik, arah dan target RUU KKG seperti yang digariskan dalam Ketentuan Umum, Bab I, pasal 1.
Dalam ketentuan umum, kesetaraan dan keadilan diartikan dengan kesamaan dan persamaan. “Kesetaraan Gender adalah kesamaan kondisi dan posisi bagi perempuan dan laki-laki untuk mendapatkan kesempatan mengakses, berpartisipasi, mengontrol dan memperoleh manfaat pembangunan di semua bidang kehidupan. Sedangkan “Keadilan Gender adalah suatu keadaan dan perlakuan yang menggambarkan adanya persamaan hak dan kewajiban perempuan dan laki-laki sebagai individu, anggota keluarga, masyarakat dan warga negara”.
Apa saja bentuk “ketidakadilan” dalam kitab suci menurut jika dibandingkan RUU KKG?
Dalam Bibel terdapat banyak sekali ayat-ayat yang secara tekstual cenderung bertentangan dengan RUU ini. Di antaranya adalah sebagai berikut
 “Aku tidak mengizinkan perempuan mengajar dan juga tidak mengizinkannya memerintah laki-laki; hendaklah ia berdiam diri”.(I Timotius 2:12)
Anak perempuan tidak mendapatkan waris kecuali jika tidak ada pewaris lagi dari laki-laki. “Dan kepada orang Israel engkau harus berkata: Apabila seseorang mati dengan tidak mempunyai anak laki-laki, maka haruslah kamu memindahkan hak atas milik pusakanya kepada anaknya yang perempuan”. (Bilangan 27:8)
Ayat-ayat al-Qur'an tidak sejalan dengan RUU diantaranya seperti berikut:
Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya (QS. Al-Baqarah 228)
Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan (QS. An-Nisa’ 11)
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. (QS. An-Nisa’ 34)
Apakah dengan ketidaksesuaian dengan RUU ini, teks-teks kitab suci itu harus dirubah, ataukah Wakil kita di DPR RI mempromotori proyek pembuatan tafsir kitab suci versi baru yang sehaluan dengan RUU ini? Kita tunggu bagaimana akal kolektif anggota dewan menghadang Wahyu Tuhan.
Menurut saya Pesan-pesan profetik kitab suci tidak mungkin lagi dirubah sehingga RUU ini harus lebih rasional dalam melihat kondisi sekitar, dan harus lebih mepertimbangkan serta melakukan pemetaan tentang hal-hal apa saja yang tidak semestinya diatur dalam RUU ini, misalnya hal-hal yang bersifat individu (masalah perkawinan RUU-KKG pasal 12).  Selain Negara sudah mempunyai UU tentang perkawinan, pasal 12 akan menimbulkan multi tafsir yang memungkinkan untuk dibelokkan kepada hal-hal yang akan keluar dari aturan agama dan norma masyarakat kita. Saya menyarankan sudah semestinya dilakukan pengkajian lebih awal tentang aturan/ pasal-pasal terkait pengarus utamaan gender yang telah ada, guna menghindari tumpang tindih dalam pelaksanaan aturan perundang-undangan. Sebaiknya dilakukan pengkajian secara terbalik yaitu terlebih dahulu mengkaji produk  UU yang sudah ada, pada pasal-pasal yang berkaitan dengan Gender; UU Ketenagakerjaan, UU Pendidikan, UU Pemilu dll, baru kemudian kekurangannya dimunculkan dalam RUU ini. Namun ketika UU yang sudah ada masih relevan dan tidak mengindikasikan diskriminasi terhadap Gender, serta  sudah cukup untuk dijadikan payung hukum bagi aparatur pemerintahan dalam mengoptimalkan Pengarus Utamaan Gender (PUG) pada masing-masing lini, maka sebaiknya RUU-KKG ini tidak dipaksakan untuk diundangkan.
Pasal-Pasal yang dianggap bermasalah dalam RUU KKG
Pasal 1 ayat 1 (Mengartikan Gender sebagai hasil konstruksi budaya, yang sesungguhnya dalam aqidah seorang muslim merupakan otoritas Wahyu dari Allah)
Pasal 1 Ayat 2 (Mengenai pengertian Kesetaraan yang menyamakan kondisi dan posisi laki-laki dan perempuan, lantas bagaimana dengan Hukum Waris, Aqiqah dll yg telah jelas diatur dalam Alquran?)
Pasal 1 Ayat 3 (Konsepsi keadilan yang tidak jelas, dan semakin mengkaburkan makna adil)
Pasal 12 Poin a (Masalah Perkawinan, pasal ini akan menjadi pintu terbukanya hubungan nikah sesame jenis, yaitu Homoseksual dan Lesbian)
Pasal 15 (Pasal yang aneh, mewajibkan kita untuk menanamkan nilai-nilai KKG kepada anak sejak usia dini, lantas dimana nilai-nilai agama yang semestinya lebih diutamakan…???)


       [2] http://hati.unit.itb.ac.id/ diakses 24 Mei 2012, pukul 13:23. WITA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Slide