Kamis, 29 September 2011

CYBERCRIME



By: Muhammad Solihin S

Cybercrime merupakan salah satu bentuk atau dimensi baru dari kejahatan masa kini yang mendapat perhatian luas di dunia internasional. Volodimir Golubev menyebutnya sebagai the new form of anti social behavior.[1]
Cybercrime merupakan salah satu sisi gelap dari kemajuan teknologi yang mempunyai dampak negative sangat luas bagi seluruh bidang kehidupan modern saat ini. Kehawatiran demikian terungkap pula dalam makalah Cybercrime yang disampaikan oleh ITAC (Information Technology Association of Canada) pada International Industry Congress (IIC) 2000 Millenium Congress di Quebec pada tanggal 19 September 2000, yang menyatakan bahwa cybercrime is real and growing threat to economic and social development around the world. Information technologi touches every aspect of human life and so can electronically enabled crime.[2] Sehubungan dengan kekhawatiran akan ancaman/bahaya cybercrime ini karena berkaitan erat dengan economic crimes dan organized crime (terutama untuk tujuan money laundering), Kongres PBB mengenai The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders (yang diselenggarakan tiap lima tahun) telah pula membahas masalah ini. Sudah dua kali masalah cybercrime ini diagendakan, yaitu pada Kongres VIII/1990 di Havana dan pada Kongres X/2000 di Wina.[3]
Perkembangan yang pesat dari teknologi telekomunikasi dan teknologi komputer menghasilkan internet yang multifungsi. Perkembangan ini membawa kita ke ambang revolusi keempat dalam sejarah pemikiran manusia bila ditinjau dari konstruksi pengetahuan umat manusia yang dicirikan dengan cara berfikir yang tanpa batas (borderless way of thinking). Percepatan teknologi semakin lama semakin supra yang menjadi sebab material perubahan yang terus menerus dalam semua interaksi dan aktivitas masyarakat informasi.
Internet merupakan symbol material embrio masyarakat global. Internet membuat globe dunia, seolah-olah menjadi seperti hanya selebar daun kelor. Era informasi ditandai dengan aksesibilitas informasi yang amat tinggi. Dalam era ini, informasi merupakan komoditi utama yang diperjualbelikan sehingga akan muncul berbagai network & information company yang akan memperjualbelikan berbagai fasilitas bermacam jaringan dan berbagai basis data informasi tentang berbagai hal yang dapat diakses oleh pengguna dan pelanggan. Semua itu membawa masyarakat ke dalam suasana yang disebut oleh John Naisbitt, Nana Naisbitt dan Douglas Philips sebagai Zona Mabuk Teknologi.
Hal yang membuat internet memiliki peran yang sangat penting adalah potensi yang dimilikinya sebagai media teknologi informasi, antara lain:
1. Keberadaannya sebagai jaringan elektronik public yang sangat besar;
2. Mampu memenuhi berbagai kebutuhan berinformasi dan berkomunikasi secara murah, cepat, dan mudah diakses, dan;
3. Menggunakan data elektronik sebagai media penyampaian pesan/data sehingga dapat dilakukan pengiriman, penerimaan, dan penyebarluasan informasi, secara mudah dan ringkas.[4]
Internet yang menghadirkan cyberspace dengan realitas virtualnya menawarkan kepada manusia berbagai harapan dan kemudahan. Akan tetapi dibalik itu, timbul persoalan berupa kejahatan yang dinamakan cybercrime, baik sistem jaringan komputernya itu sendiri yang menjadi sasaran maupun komputer itu sendiri yang menjadi sarana untuk melakukan kejahatan. Tentunya jika kita melihat bahwa informasi itu sendiri telah menjadi komoditi maka upaya untuk melindungi aset tersebut sangat diperlukan. Salah satu upaya perlindungan adalah melalui hukum pidana.
Meski Indonesia menduduki peringkat pertama dalam cybercrime pada tahun 2004, akan tetapi jumlah kasus yang diputus oleh pengadilan tidaklah banyak. Dalam hal ini angka dark number cukup besar dan data yang dihimpun oleh Polri juga bukan data yang berasal dari investigasi Polri, sebagian besar data tersebut berupa laporan dari para korban. Ada beberapa sebab mengapa penanganan kasus cybercrime di Indonesia tidak memuaskan:
  1. Cybercrime merupakan kejahatan dengan dimensi high-tech, dan aparat penegak hukum belum sepenuhnya memahami apa itu cybercrime. Dengan kata lain kondisi sumber daya manusia khususnya aparat penegak hukum masih lemah.
  2. Ketersediaan dana atau anggaran untuk pelatihan SDM sangat minim sehingga institusi penegak hukum kesulitan untuk mengirimkan mereka mengikuti pelatihan baik di dalam maupun luar negeri.
  3. Ketiadaan Laboratorium Forensik Komputer di Indonesia menyebabkan waktu dan biaya besar. Pada kasus Dani Firmansyah yang menghack situs KPU, Polri harus membawa harddisk ke Australia untuk meneliti jenis kerusakan yang diti mbulkan oleh hacking tersebut.
  4. Citra lembaga peradilan yang belum membaik, meski berbagai upaya telah dilakukan. Buruknya citra ini menyebabkan orang atau korban enggan untuk melaporkan kasusnya ke kepolisian.
  5. Kesadaran hukum untuk melaporkan kasus ke kepolisian rendah. Hal ini dipicu oleh citra lembaga peradilan itu sendiri yang kurang baik, faktor lain adalah korban tidak ingin kelemahan dalam sistem komputernya diketahui oleh umum, yang berarti akan mempengaruhi kinerja perusahaan dan web masternya.
Upaya penanganan cybercrime membutuhkan keseriusan semua pihak mengingat teknologi informasi khususnya internet telah dijadikan sebagai sarana untuk membangun masyarakat yang berbudaya informasi. Keberadaan undang-undang yang mengatur cybercrime memang diperlukan, akan tetapi apalah arti undang-undang jika pelaksana dari undang-undang tidak memiliki kemampuan atau keahlian dalam bidang itu dan masyarakat yang menjadi sasaran dari undang-undang tersebut tidak mendukung tercapainya tujuan pembentukan hukum tersebut.[5]
Oleh karena itu, dengan memperhatikan realitas saat ini dan mempertimbangkan dua kongres Internasional di atas (yaitu Kongres mengenai Industri Informasi Internasional dan Kongres PBB mengenai Pencegahan Kejahatan), maka sudah sewajarnya Indonesia pun seyogyanya melakukan antisipasi terhadap upaya penanggulangan cybercrime. Penting juga untuk diketahui dan dipahami, tentang sejauh mana kesiapan penegak hukum di Indonesia dalam menghadapi perkembangan tindak kejahatan dunia maya, serta mengenai upaya-upaya yang ditempuh hukum dalam menanggulangi tindak pidana mayantara (Cybercrime).


*Diedit kembali dari makalah pada Seminar Nasional Cyber Law di STHB, Bandung, Hotel Grand Aquila, 9 April 2001.
[1]Volodymyr Golubef, Cybercrime and legal problems of internet usage, hlm. 1
[2]ITAC, IIIC Common Views Paper On: Cyber Crime, IIIC 2000 Millenium Congress, September 19, 2000, p. 2
[3]Nawawi Arief, Barda. 2006. Tindak Pidana Mayantara. Jakarta: PT Rajawali Pers, hal 2
[4] M. Arsyad Sanusi. 2005. hokum dan Teknologi Informasi: Jakarta Tim Kemas Buku. hal 120
[5] www.unsoed.ac.id. Agud Raharjo.Kebijakan kriminalisasi dan penanganan cybercrime di indonesia. Diakses tanggal 20 desember 2009, Pukul 13:26 Wita

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Slide